Membicarakan novel Larung karya Ayu Utami adalah membicarakan moral. Ke empat tokoh perempuan yang dikarang oleh Ayu Utami adalah perempuan – perempuan yang tidak mengakui adanya lembaga perkawinan. Selain membicarakan moral, novel ini juga membicarakan seksualitas. Perilaku seksualitas yang di ceritakan oleh Ayu Utami hampir sebagian besar di tentang oleh masyarakat Indonesia karena seharusnya perilaku seksualitas dikatakan dapat dilakukan apabila sudah menikah dan mempunyai surat – surat nikah yang sah, tapi Ayu Utami justru malah sebaliknya.
Tokoh perempuan yang di deskripsikan oleh Ayu Utami tidak ada satu pun yang memperlihatkan sosok seorang perempuan yang berbahagia melainkan sosok perempuan yang selalu gelisah di dalam kehidupan bermasyarakat, tepatnya kegelisahan seksual.
Kegelisahan seksual melekat kepada ke empat tokoh perempuan yang bersahabat sejak kecil. Laila adalah seorang fotografer yang jatuh cinta pada Sihar, seorang Insinyur Perminyakan. Awalnya Laila tau bahwa Sihar sudah beristri, tapi keinginan untuk melakukan hubungan seksual terus membayanginya. Bahkan ketika Sihar akan berangkat ke New York, Laila berusaha untuk melakukannya.
Ketika ia sampai di New York, ia merasakan sesuatu yang aneh. Dia beranggapan di kota ini tidak ada yang peduli apa ia masih perawan atau tidak, apakah ia menikah atau tidak. Namun,upaya Laila untuk menemui Sihar ternyata menemui kegaga-
lan karena dia tau bahwa Sihar berangkat ke New York bersama dengan istrinya. Di tengah kesedihan Laila, Shakuntala tiba – tiba bertemu dengannya. Tala waktu itu sedang mempelajari ilmu di New York untuk menjadi penari profesional. Tala bisa menarikan tarian itu dengan sangat bagus bahkan dia bisa menarikan tarian Mango dengan bertelanjang dada. Ketika,melihat Laila sedih, Tala mengajaknya untuk menari tarian Mango. Disaat itulah hasrat Tala untuk melakukan hubungan seksual itulah tumbuh dan Tala pun mengajak Laila tidur bersama.
Tokoh Laila di gambarkan sebagai seorang perempuan yang sama sekali tidak memiliki kecenderungan menjadi seorang lesbian. Namun, saat sedang patah hati karena di kecewakan pacarnya, dia tidak menolak didekati secara seksual oleh Tala. Hubungan seks antara ke dua perempuan itu pun terjadi. Anggapan yang ada adalah anggapan bahwa perempuan cenderung menjadi lesbian karena seorang laki – laki. Disamping itu, sebuah prasangka lain seperti : kekhawatiran bahwa lesbiane dapat “ menular “ sehingga berbahayalah bagi perempuan “ normal “ seperti Laila bergaul dengan orang seperti Tala.
Yasmin yang sudah menikah dengan Lukas Hadi Prasetyo berselingkuh dengan seorang pastor, Romo Wis yang berganti nama menjadi Saman saat berada dalam status buronan. Mereka ber dua melakukan hubungan seksual saat Yasmin dan Saman berada di Pekanbaru, ketika Saman mau dilarikan ke Amerika. Yasmin pun sadar dia merusak rumah tangganya sendiri dengan memperjakai Romo Wis. Sementara Cok, merupakan sosok perempuan yang sejak duduk di bangku SMU sudah menganut aliran free sex. Ia sering berpindah – pindah SMU karena orangtuanya sering menemukan kondom di tas sekolahnya. Hingga Dewasa sampai saat ini ia banyak tidur dengan banyak lelaki. Begitu pula dengan nenek Larung yang menikah dengan seorag Belanda dan kemudian menikah lagi dengan seorang Gerilyawan, yang pada akhirnya harus dibunuh oleh cucunya sendiri ( Larung ) karena nenek yang berusia 120 tahun itu tidak mati – mati padahal nafas dan tubuhnya bau. Nenek itu akhirnya dibunuh Larung setelah Larung mendapatkan 6 cupu sebagai penawar susuk yang di pakai oleh neneknya yang tersebar di dadanya.
Demikian pula pada tokoh utamanya, Larung. Larung yang digambarkan sebagai laki – laki yang bisa menahan diri dari nafsu setan atau nafsu seks, yang pada akhirnya harus mati di tangan aparat yang mengejar aktivis. Dalam Larung, Larung dan Saman sama – sama bertugas menyembunyikan dan melarikan 3 aktivis yang dikejar – kejar aparat keamanan karena tersangkut kasus 27 Juli 1996. Namun, ke duanya gagal melarikan diri ke tiga aktivis itu ke luar negeri. Larung di tembak di atas perahu motor yang membawanya ke Jakarta. Dalam novel Ayu, laki – laki ‘ baik – baik ‘ pun di matikan.
Dalam Novel Larung, pengarang mengemukakan pandangan filosofis, keyakinan tokohnya tentang tuhan, kehidupan, kematian, bahkan cikal bakal manusia yang di persiapkan untuk mendukung tokohnya serta menolak pandangan yang umum yang diyakini sebagian orang tentang hidup, tentang kematian dan tentang tuhan.
Agama dalam pandangan pengarang hanyalah ilusi, termasuk adanya tuhan. Kebahagiaan seorang pemeluk agama didasarkan atas keyakinan ilusi, termasuk adanya tuhan. Kebahagiaan seorang pemeluk agama didasarkan atas keyakinan. Seorang pemeluk agama apa pun pasti merasa bahagia karena ia merasa yakin telah bertindak sesuai dengan norma dan ajaran tuhan yang tercantum dalam kitab suci. Bagi seorang pemeluk agama, kebahagiaannya didasarkan atas keyakinan – keyakinan keberagamaan ( spiritual ) diukur dengan keyakinan antiagama yang matrial. Ayu Utami mengaku Bahwa dirinya tidak menyetujui adanya lembaga perkawinan, dan cenderung memilih untuk melanjutkan kehidupan tanpa peraturan mengenai seks. Dengan kata lain bahwa ia tidak menolak kebebasan seksual. Hal inilah yang menjadi semacam point bagi Ayu Utami untuk berkarya. Karya – karya yang dikarang oleh Ayu Utami tentunya tidak jauh dari persoalan seksual, anti – perkawinan, anti keperawanan dan sejenisnya.
Ayu Utami memiliki kemampuan berbahasa, kemampuan memilih dan mengolah kata ( diksi ) yang sangat bagus. Dan bahasa yang sangat bagus tersebut Ayu Utami mengemas sebuah gagasan yang merontokkan nilai – nilai moral dalam masyarakat indonesia khususnya. Dan memang daya ungkap Ayu Utami memang luar biasa, sehingga para pembacanya dibuat terpukau sekaligus.
Lebih jauh lagi Ayu Utami memperlihatkan bagaimana keyakinan tokoh – tokoh novel Larung tentang kematian. Kematian ditentukan oleh diri sendiri. Ini memperlihatkan perbedaannya dengan pandangan agama. Dalam agama diyakini bahwa hidup dan mati di tentukan oleh tuhan dan hanya tuhan yang mengetahui saat kematian itu.
Pengarang mengatakan, mungkin dengan sedikit mengejek : Lenin adalah Tuhan, sebagai mana kristus adalah tuhan, sebab tuhan adalah kasih dan kristus dan lenin jugalah kasih isodarah duncan, penari Amerika. ( halaman 223 )
Ayu menyatakan dia sengaja memilih cara penulisan dalam mengarang. Bahkan Ayu Utami dengan percaya diri menilai novelnya sebagai novel polifonik ( yang bearti memuja diri sendiri sebagai “ pembaharu “, pembawa gaya tulis yang masih jarang di Indonesia ), juga ceritanya mengenai perkembangan alur novel yang di luar rencana. Apalagi dengan diksi atau pilihan kata yang berbeda bagi masing – masing para pelakunya. Mempunyai kelebihan dalam mengarang itulah dia merasa tidak perlu bersikap kritis terhadap bagian teks yang muncul di luar rencana itu, seakan – akan apa yang mengalir dari tangannya bersumber pada dirinya yang tidak perlu diragukan lagi.
Dari segi intrinsik, tema seksualitas memang sangat menonjol. Demikian pula amanat novel ini yang menggambarkan buram dan gelapnya perkawinan antar – manusia. Tema yang sangat kuat ini sangat berhubungan dengan unsur ektrinsik, terutama nilai – nilai moral dan agama. Dalam novel Ayu Utami ini, orang yang memilih jalan selibat pun diembat oleh tokoh – tokoh yang dideskripsikan oleh Ayu Utami. dalam novel tersebut juga terbaca bahwa jalan yang dilalui para tokoh perempuan itu juga pada akhirnya merugikan orang ( pihak ) lain. Membaca Larung, seperti berada dalam posisi bimbang nabi Adam : apakah buah kuldi itu harus dimakan atau tidak ?
Sesungguhnya novel Larung adalah sebuah upaya artistik untuk mengejek lembaga agama dengan segala perangkat dan ajarannya, dan Ayu Utami pun sengaja memanfaatkan momen ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar